Dunia akademik memasuki babak baru. Kalau tak ada rintangan, maka ini
kabar gembira bagi para dosen berdedikasi, namun sekaligus "kabar
menarik" bagi para rektor PTN-BH (Badan Hukum) dan tentu saja
pengelola yayasan PTS (Perguruan Tinggi Swasta).
Kabar gembira bagi para dosen, karena "peta pasar" tenaga akademik
memasuki babak awal perubahan. Dosen akan menjadi rebutan, "harganya"
akan naik, kualifikasi wajib ditingkatkan. Namun ini tentu hanya
berlaku bagi dosen yang punya karya dan panggilan yang pas sebagai
akademisi yang bersungguh-sungguh menjalankan Tri Dharma perguruan
tinggi.
"Kabar menarik" bagi para rektor PTN-BH adalah karena dosen-dosen PTN
yang tak diberi imbalan layak akan sangat mungkin pindah. Ini berarti
para rektor harus bekerja lebih keras mencari dana-dana baru di luar
uang kuliah yang dibayar para mahasiswa. Artinya para rektor harus
lebih entreprenerial. Bila tidak, maka kampusnya akan ketinggalan
zaman, biaya riset, perawatan dan kegiatan mahasiswa bisa dikorbankan,
dan reputasinya menjadi pertaruhan besar.
Karakter Lama
Untuk jelasnya, saya mulai dulu dengan analisis From-To dari geliat
perubahan ini. Kita mulai dari "From"-nya, yaitu tenaga akademik di
masa lalu.
Begini, dulu, lulusan S1 boleh mengajar di program studi S1, bahkan
boleh diklaim sebagai dosen untuk berbagai program studi di satu
kampus. Ia diberi honor per SKS, di samping ada yang terima gaji
tetap, walau jumlahnya tak seberapa.
Saya ingat, dulu saya memulai karir sebagai asisten dengan honor Rp
15.000,- per bulan. Itupun dirapel enam bulan sekali. Padahal saat
itu gaji pegawai lulusan S1 sudah mencapai sekitar Rp 750.000-Rp
1.250.000 per bulan.
Kalau sudah senior, lumayanlah. Bisa mencicil kendaraan roda empat
yang paling murah. Tetapi dosen harus bekerja keras cari sekolah
lanjutan sendiri. Akibatnya, banyak yang nyambi di sana-sini dan tak
menulis karya ilmiah. Satu orang bisa mengajar di tiga hingga lima
kampus, antara lima hingga dua belas mata kuliah supaya bisa hidup
layak.
Tambahan pula, dulu usia berapa saja bisa menjadi dosen. Bahkan
pensiunan PNS pun bisa. Pegawai BUMN atau anggota TNI/Polri pun tak
masalah. Status dosen tak tetap sudah cukup menggiurkan.
Lantas Bagaimana Sekarang?
Coba bukalah Permendikbud No 84/2013 yang dikeluarkan Mendikbud 12
Juli 2013. Ini adalah turunan dari UU No 12/2012 tentang Pendidikan
Tinggi. Di sana Anda akan menemukan konsep penataan Perguruan Tinggi
yang memberivalueyang lebih baik bagi para dosen. Namun
ingatimplicitly, saya melihat ini juga sekaligus menantang bagi para
rektor.
Bagaimana penjelasannya? Inilah "To" nya (dan analisis"From-To" tadi).
Di perguruan tinggi negeri, ada dosen-dosen tetap berstatus PNS, dan
non PNS. Lalu di PTS, dosen-dosen lebih diarahkan pula menjadi dosen
tetap. Nah, dosen-dosen tetap ini tidak bisa lagi mendaftar di
beberapa kampus. Mengapa begitu?
Dosen-dosen itu akan memperoleh NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional,
untuk yang sudah S2) atau NIPN (Nomor Induk Pengajar Nasional, untuk
dosen- dosen yunior). Nah nomor induk itu bersifat eksklusif, hanya
bisa dipakai untuk satu kampus saja sehingga memberikan dorongan
kampus untuk merekrut dosen tetap.
Nah jumlah dosen tetap ber NIDN ini kelak akan sangat menentukan
penilaian akreditasi yang mencerminkan reputasi dan kualifikasi
akademis dan manajemen program studi.
Lalu apa yang akan terjadi?
Karena semua dosen yang memiliki NIDN dan NIPN (sebagai jaminan
kariernya) akan terdaftar dalamdata basePDPT (Pusat Data Perguruan
Tinggi), maka mereka tidak bisa diklaim di universitas lain, atau
bahkan program studi lainnya dalam universitas yang sama. NIDN ini
bisa dipindah, walaupun biasanya dihambat oleh kampushomebased-nya,
kecuali jika si dosen memang tak diinginkan lagi. Jadi mungkin saja
kelak akan muncul masalah hukum yang panjang,
Tambahan pula menurut peraturan baru itu, untuk mengurus NIDN,
seseorang tak bisa lagi melakukannya bila sudah lewat usia 50 tahun
(kecuali anda mempunyai kualifikasi/kompetensi khusus). Padahal, dulu
banyak PNS yang baru mengambil program doktor menjelang pensiun dan
menjadi dosen setelah pensiun (diatas 55 tahun).
Jadi anda harus berkarier sebagai dosen sedari muda, jangan tunggu
kalau sudah bergelar doktor atau menjelang pensiun. Ingat, dosen itu
ada jenjang jabatannya. Dan semua ada nilai ekonomi dan reputasinya.
Ini belum cukup. Dosen-dosen yang mengurus NIDN pun harus mempunyai
kemampuan akademik (TKDA, Tes Kemampuan Dosen Akademik) dan bahan
Inggris (TOEFL minimal 510, PBT). Bayangkan bila sudah uzur baru ikut
ujian TOEFL, dijamin sulit lulus.
Lalu orang-orang yang mempunyai status sebagai pegawai BUMN, PNS pada
kementerian /pemerintahan kota/ kabupaten, pegawai/anggota Polri/ TNI,
anggota aktif parpol dan legislatif, konsultan hukum, pengacara,
notaris dan apoteker pun tak bisa mendapatkan NIDN. Mereka harus
fokus.
Ini berarti, akan terjadimarket shrinking. Populasi pasar tenaga
akademis yang bisa menjadi dosen tetap akan lebih tersaring, lebih
selektif, mengerucut. Menjadi lebih muda, berpendidikan, tertata,
kariernya lebih jelas, lebih fokus, dan jenjang akademisnya lebih
dihargai. Dan tentu harganya akan lebih mahal.
Kampus-kampus PTS yang ingin mengejar reputasi dan akreditasi yang
tinggi, tentu akan mengejar status dosen tetap. Memperebutkannya dari
"pasar" tenaga akademik yang akan lebih terbatas. Itu pun mereka
memilih yang lebih melayani, punya panggilan Tridharma perguruan
tinggi yang kuat, dan disiplin.
Artinya, perpindahan dosen antar kampus, sekalipun akan dihambat, tak
lagi dapat dihindarkan. Semua terpulang siapa yang bersedia memberi
"tempat yang lebih layak", lebih kompetitif, lebih manusiawi, lebih
punya reputasi, dengan mahasiswa yang berkualitas, dan memberi ruang
bagi kebebasan mimbar akademik.
Dalam pengurusan NIDN pun, ada ketentuan bahwa dosen harus menunjukkan
surat pengangkatan yang mencerminkan bahwa ia diberi imbalan yang
layak (di atas KHM), jaminan hari tua dan kesehatan. Bahkan hak untuk
mendapatkan promosi dan penghargaan, dan kesempatan untuk meningkatkan
kompetensinya, serta kebebasan berserikat dinyatakan dalam ketentuan
itu.
Tantangan Bagi Rektor dan Konglomerat
Badan pengelola PTS (yayasan) tentu perlu berpikir lebih keras untuk
menyediakan sumber sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen
berkualitas. Demikian juga bagi PTNBH perlu bekerja lebih cerdas
menggali dana-dana baru di luar BOP (Biaya Operasional Pendidikan)
yang dibayar mahasiswa.
Kalau semua beban dialihkan pada peserta didik, maka universitas akan
kesulitan mendapatkan bibit –bibit unggul. Dan tentu saja akan
bertentangan dengan semangat keadilan, dan akses yang lebih luas bagi
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kalau tidak,
dana-dana penelitian dan perawatan, fasilitas laboratorium dan
kegiatan kemahasiswaan bisa terancam dialihkan. Ini tentu bukan
pilihan tepat.
Kebijakan ini, di satu pihak, adalah baik bagi para akademisi dan
dunia akademik, sekaligus bisa menumbuhkan budaya ilmiah. Dosen juga
akan jauh lebih dihargai. Tekanan ini sesungguhnya baik untuk
melahirkan kehebatan baru bagi organisasi universitas. Namun di lain
pihak ini juga menandakan era baruleadershipperguruan tinggi yang
lebih menantang.
Dan tentu saja, hal ini menjadi tantangan bagi para taipan dan
konglomerat yang belakangan begitu bergairah membuka kampus dengan
namanya sendiri. Bukankah lebih baik bekerjasama dengan PTN saja,
dengan dana-dana CSR yang lebih "gres". Di sana Anda pun dapat menaruh
nama Anda pada berbagai event atau bahkan gedung seperti yang sudah
dilakukan di berbagai kampus bereputasi tinggi di negara-negara maju.
Mengelola sendiri PTS, akan menjadi jauh lebih mahal, boros, dan belum
tentu dapat mencapai visi-misi pribadi. Apalagi bila gagal menempatkan
orang-orang yang tepat dalam yayasan. Inilah kasus yang tengah terjadi
di banyak yayasan milik para taipan, yang maaf, organisasinya
"dibajak" oleh orang-orang yang bukan pendidik. Coba deh periksa lagi.
Prof Rhenald Kasaliadalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Selain itu, pria bergelar Ph. D. dari
University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam
memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4
kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan,
yang menjadi role modelsocial businessdi kalangan para akademisi dan
penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian.
Terakhir, buku yang ditulis berjudul"Self Driving": Merubah mental
passengers menjadi drivers.
Sumber : Kompas.com
No comments:
Post a Comment